Nama : Nuril Febriansah
NPM : 16213680
Kelas : 2EA03
PADA
JAMAN ORDE BARU (Masa Pemerintahan Soeharto)
Pada
masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan
terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses
menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas
ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan
perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran Negara.
Hal
ini berhasil karena selama lebih dari 32 tahun, pemerintahan mengalami
stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan
ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde
Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju
pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia,
serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut
dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya,
fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro.
Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya,
masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan
dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu
dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut
tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru
dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan
rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan
berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal
ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan
bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas
dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan
dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan
dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin,
karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman
luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang
defisit. Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada
anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang
yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami
defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut
menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan
pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah
dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan
dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan
pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini
merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan
stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari
terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit.
Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan
pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan
pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya
digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut
pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat
seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat
bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan
tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu
meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu
meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN
tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari
dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap
pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan
menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah
pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan
penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan
resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi
ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh
pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan
tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan
berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan
pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu,
pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam
pembangunan.
Kebijakan
pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan
reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan
proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar
negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat.
Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar
pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN
pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah
untuk meningkatkan tabungannya.
Tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan
struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada
cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan.
Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman
berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran
peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh
perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik,
dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan
ekonomi.
Krisis
finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah
krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini
adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan
memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang
program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan
penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain
Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga
Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup
lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei
1998.
PASCA ORDE
BARU (Setelah Masa Pemerintahan Soeharto)
Di
bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah
Presiden B.J Habibie.
Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden
pada Oktober1999 kemudian
memperpanjang program tersebut.
Pada
2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan
melebihin Rp 6300 Trilyun [8] meningkat
lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China,
Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20
negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini
adalah tabel PDB (Produk
Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[9] oleh
IMF dalam juta rupiah.
Tahun
|
PDB
|
1980
|
60,143.191
|
1985
|
112,969.792
|
1990
|
233,013.290
|
1995
|
502,249.558
|
2000
|
1,389,769.700
|
2005
|
2,678,664.096
|
2010
|
6,422,918.230
|
Selama lebih dari 32 tahun pemerintahan Orde Baru
Presiden Soeharto, perekonomian Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70
menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan
yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka,
dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran
pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan
hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor
eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan
pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata
mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai
ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
MASA
REFORMASI (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya
pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh
pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan
yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah
stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna
menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan
ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati. Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan
ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
·
Meminta penundaan pembayaran utang
sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan
pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
·
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi
adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara.
Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
Masa Kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi
subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke
subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.
Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan
perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk
menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang
selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika
semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006, Indonesia melunasi
seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka
diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri
kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara
penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari
35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran
kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
Pada ERA SBY
Pemerintah memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2012
sebesar 6,7%, naik tipis 0,2% dari asumsi tahun 2011 yang 6,5%. Proyeksi
tersebut disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di
hadapan Sidang Paripurna DPR Menurut Kepala Negara, asumsi pertumbuhan ekonomi
tersebut menjadi acuan bagi pemerintah SBY dalam menyusun rencana kerja tahun
depan. Dalam RAPBN 2012, kata Presiden, tertuang juga perkiraan pemerintah
untuk indikator makro ekonomi lainnya, a.l. inflasi 5,3%, suku bunga SPN 3
bulan 6,5%, nilai tukar Rp8.800 per dolar AS, harga minyak mentah Indonesia
(ICP) US$90 per barel, dan produksi minyak 950.000 barel per hari.
Kepala Negara juga mengatakan di tengah perkembangan
ekonomi global yang penuh ketidakpastian, ekonomi Indonesia pada tahun ini
diyakini tumbuh 6,5%. Pertumbuhan ekonomi tahun ini merupakan yang tertinggi setelah krisis 1998.
Investasi, ekspor, dan konsumsi masyarakat diyakini menjadi motor penggerak
utama. “Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi [2011] akan digerakkan oleh
sektor industri pengolahan, sektor pertanian, dan sektor pertambangan,” ujar
dia.
Sementara itu, lanjut Presiden, kenaikan harga komoditas
dunia serta cuaca ekstrim yang terjadi di beberapa wilayah, telah memberi
tekanan terhadap laju inflasi di dalam negeri. Pada tahun lalu, laju inflasi mencapai
6,96%, sementara hingga Juli 2011 secara tahunan mencapai 4,61%. “Oleh karena
itu, pemerintah telah dan akan senantiasa menempatkan pengendalian harga-harga
sebagai prioritas utama, dalam menjaga stabilitas ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan rakyat,” tuturnya. Di sisi lain, kata dia, nilai tukar rupiah
terus mengalami penguatan. ingga akhir Juli 2011, rata-rata nilai tukar rupiah
mencapai Rp8.716 per dolar AS atau menguat 4,93% bila dibandingkan dengan
posisinya pada periode sama tahun lalu.
Terkait dengan tingkat suku bunga BI rate, pada Februari
2011 dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 6,75%, dan masih dipertahankan
hingga akhir tahun 2011.
MASALAH
PEMANFAATAN KEKAYAAN ALAM
Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan
orde lama.Apa yang bisa digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang.
Yang penting bisa selalu makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup
berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras impor.
Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai
jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb.
Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada orang mempertanyakan,
diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi
kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu (kroni) secara tidak
transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang
memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa
ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar
terjadi masih pada masa Orde Baru.
Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang
LN tetap harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan,
meski pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya..
Rakyat menikmati kebebasan (namun sepertinya terlalu “bebas”). Media masa
menjadi terbuka.
Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin
hanyalah sekelompok orang yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme
kenikmatan duniawi di zaman Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak
parah; industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH
, menjadi muara dari illegal logging.
Referensi :
1. http://finansial.bisnis.com/read/20110816/9/44046/sby-laju-pertumbuhan-ekonomi-ri-2012-6-7-percent2. http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Indonesia
3. http://asdjody.blogspot.com/2011/11/perbedaan-ekonomi-indonesia-di-zaman.html
4. http://sokhi95.blogspot.com/2013/04/makalah-mengenai-orde-lama-orde-baru.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar